Ramli di Ujung Tali: Antara Cinta dan Kebingungan Pekerjaan
Siang itu, Ramli lagi leyeh-leyeh di kasurnya yang udah mulai karatan. HP jadulnya tiba-tiba berdering, bikin dia kaget setengah mati. Layar HP-nya nunjukin nama yang udah lama dia nanti-nantikan: Cinta. Si Cinta, pujaan hatinya sejak zaman kuliah, yang sampai sekarang masih jadi misteri di hidupnya. Ramli langsung bangkit dengan panik, nyiapin mental buat ngobrol sama gebetan yang selama ini cuma bisa di-stalk di Instagram.
“Hallo, Cinta?” Ramli jawab telepon dengan suara yang udah diatur supaya terdengar macho. Di ujung sana, Cinta nanya dengan suara manisnya, “Hai Ramli, gimana kabarnya? Lagi sibuk apa nih?” Ramli yang biasanya jawab, “sibuk nganggur” ke temen-temennya, sekarang bingung setengah mati. Masa iya mau jujur soal status penganggurannya?
“Oh, eh… sibuk ngurusin ini-itu, Cin,” jawab Ramli dengan nada yang sok sibuk. Padahal, yang diurusin itu ya cuma ayam goreng di piringnya yang hampir gosong. Cinta langsung ngeh dengan jawabannya yang abu-abu itu. “Wah, kamu keren ya, pasti sibuk banget dengan pekerjaanmu. Boleh tau nggak kamu kerja di mana sekarang?”
Ramli langsung keringetan dingin. Otaknya muter-muter nyari jawaban yang masuk akal, tapi semua jawaban malah bikin dia tambah pusing. Dengan sedikit panik, Ramli jawab, “Eh, aku… kerja di, ini… startup baru gitu, Cin. Lagi merintis karir lah, pokoknya.” Ramli mencoba menutupi kenyataan bahwa startup yang dia maksud adalah “usaha cari duit buat makan besok.”
“Wah, startup! Hebat banget. Terus, bidangnya apa? Pasti banyak tantangan, ya?” Cinta makin penasaran. Ramli nelen ludah, ngerasa kayak lagi ditanya dosen killer pas sidang skripsi. “Iya, iya bener. Bidangnya, ini… teknologi digital yang berkaitan sama… kreativitas dan inovasi, gitu deh,” jawab Ramli, berharap jawaban itu cukup keren buat bikin Cinta kagum.
Cinta di ujung telepon terdengar antusias. “Wah, keren banget, Ramli! Kapan-kapan aku mau dong denger cerita lebih banyak tentang startup kamu. Boleh kan?” Ramli hampir jatuh dari kasurnya. Di satu sisi, dia seneng banget Cinta tertarik, tapi di sisi lain, dia panik karena nggak tau harus ngomong apa soal “startup” yang dia ciptain di kepalanya itu.
“I-iya, pasti, Cin! Kapan-kapan kita ngobrol lagi ya,” jawab Ramli sambil berharap pembicaraan ini segera berakhir sebelum kebohongannya makin besar. Setelah beberapa obrolan ringan, akhirnya Cinta nutup telepon dengan senyum yang bisa dirasakan Ramli lewat suara manisnya.
Setelah telepon ditutup, Ramli langsung ngehempasin badannya ke kasur. “Aduh, gimana ini? Gue harus mikirin skenario bisnis startup beneran nih!” Ramli ngomong sendiri sambil pusing tujuh keliling. Di satu sisi, dia bangga karena berhasil bikin Cinta terkesan, tapi di sisi lain, dia sadar kalau sandiwaranya bakal jadi bumerang kalau nggak dipikirin matang-matang.
Begitulah nasib Ramli, seorang sarjana yang masih berjuang menemukan jalan hidupnya di tengah kebingungan akan masa depan. Meski dia belum punya pekerjaan tetap, setidaknya dia punya satu pekerjaan penting: menjaga hatinya tetap semangat dan penuh harapan, apalagi ketika Cinta sudah mulai tertarik mendekatinya.
Dalam hidup, terkadang kita harus sedikit berimajinasi untuk membuat segalanya terlihat lebih indah, seperti Ramli yang berhasil menciptakan “startup” dari kekosongan. Dan siapa tahu, imajinasi itu bisa jadi kenyataan, selama kita terus berusaha dan tidak pernah menyerah.
Bagikan berita ini: