Ramli Tertangkap Basah Ikut Arisan Ibu-Ibu, Dalihnya Kesetaraan
Hari itu cerah, tapi hati Ramli, seorang pengangguran aktif, sedang mendung. Di tengah kekalutan hidup, dia punya ide cemerlang. “Ikut arisan ibu-ibu, kenapa enggak?” pikirnya. Menurut logika Ramli, ini bukan cuma soal uang, tapi juga soal kesetaraan gender! “Kalau ibu-ibu bisa, kenapa gue enggak?” begitu katanya sambil mengelus jenggot tipis yang nggak pernah tumbuh sempurna itu.
Ketika Niat Baik Ramli Berbuah Petaka
Ramli pun menyelinap masuk ke dalam pertemuan arisan ibu-ibu RT 03 dengan gaya yang bisa dibilang “sok asyik”. Berbalut kemeja batik kebesaran warisan bapaknya, dia duduk di pojokan sambil pura-pura main HP jadul, padahal lagi dengerin gosip-gosip panas yang beredar di kalangan ibu-ibu. Tapi sial, belum juga sempat nyicipin kue nastar yang berjejer di meja, Bu RT tiba-tiba mendekat. “Eh, Mas Ramli, ngapain di sini? Kok tumben nongol?”
Deg! Jantung Ramli berdegup kencang, kayak balon gas yang siap meletus. Dengan muka santai tapi hati berantakan, dia menjawab, “Ini, Bu… ikut arisan. Demi kesetaraan gender, biar kita sama-sama bisa merasakan indahnya kumpul-kumpul dan… ya, bonusnya dapet duit lah.”
Drama Heboh di Tengah Arisan
Tentu saja, jawaban Ramli bikin ibu-ibu langsung heboh. “Kesetaraan gender? Lah, ini arisan khusus ibu-ibu, Mas!” sahut Bu RT dengan mata melotot seperti ngeliat hantu. Tapi Ramli gak mau kalah, dia pun nyerocos soal betapa pentingnya peran pria di acara-acara seperti ini. “Kita harus bergerak menuju kesetaraan, Bu. Saya mau jadi contoh pria modern yang peduli sama hak-hak perempuan, ya walaupun mungkin gak se-modern yang di drama Korea sih…”
Ibu-ibu yang tadinya mau nyemil malah pada bengong, mencoba mencerna alasan ngaco Ramli. Beberapa ada yang cekikikan, tapi ada juga yang serius mikirin, “Ini orang beneran apa emang kurang kerjaan?”
Konspirasi Kesetaraan Gender Ala Ramli
Setelah melewati debat panjang, dengan gaya sok-sokan aktivis gender, Ramli akhirnya diperbolehkan ikut arisan. “Oke, kita setuju Ramli ikut, tapi dengan syarat dia juga harus nyumbang kue di setiap pertemuan,” kata Bu RT dengan nada setengah mengancam. “Setuju!” jawab Ramli mantap, padahal di dalam hatinya udah mulai pusing mikirin gimana caranya bikin kue, wong masak mi instan aja gosong.
Ketika Rencana Berakhir Tragis
Ternyata, perjuangan Ramli nggak semulus yang dia bayangkan. Di pertemuan berikutnya, Ramli datang bawa kue buatannya sendiri. Kue yang, kalau boleh jujur, lebih cocok dijadiin hiasan daripada dimakan. Ibu-ibu yang coba menggigit kue tersebut langsung kaget, bahkan ada yang sampai nahan nangis. “Ramli, ini kue apa batu bata?” tanya Bu RT setengah bercanda tapi serius.
Ramli yang tadinya PD langsung lemes. Ternyata, ikut arisan ibu-ibu bukan cuma soal kesetaraan gender, tapi juga soal nyali dan kemampuan baking yang luar biasa. Dan Ramli, sayangnya, gak punya dua-duanya.
Momen Pencerahan di Akhir Arisan
Setelah melalui berbagai cobaan, Ramli akhirnya sadar. “Mungkin ini bukan tempat gue,” batinnya sambil memandang kue buatannya yang masih utuh di piring. Sebelum pergi, dia pun berpesan pada ibu-ibu arisan, “Bu-ibu, saya pamit. Saya sadar, kesetaraan gender itu penting, tapi ternyata gak semua hal harus dipaksain. Biar ini jadi pelajaran buat kita semua…”
Dan dengan langkah berat tapi hati yang lega, Ramli meninggalkan tempat arisan, kali ini dengan tekad baru: jadi pengangguran yang fokus ke hal-hal yang beneran dia bisa. Mungkin nanti dia bakal cari jalan lain buat mendukung kesetaraan gender, tapi jelas bukan lewat arisan ibu-ibu.
Di akhir hari, Ramli menyadari satu hal penting. Bukan masalah gender atau kesetaraan yang bikin dia salah langkah, tapi terlalu percaya diri tanpa modal kemampuan. Tapi, setidaknya dia udah mencoba, dan itu udah lebih dari cukup buat bikin dia tidur nyenyak malam itu—dengan kue kerasnya yang masih tersimpan di tas, mungkin buat suvenir nanti.
Bagikan berita ini: